SELAMAT DATANG DI BLOG BANG YOSS

Kamis, 31 Januari 2013

Hidup adalah Sebuah Pilihan


Pilihlah kata-kata yang Anda ucapkan.
Kata-kata dapat mempengaruhi pikiran
Anda dan bisa berdampak pada orang
lain. Semakin positif kata-kata yang
Anda ucapkan, semakin positif
kenyataan hasilnya.
Pilihlah apa yang hendak Anda
pikirkan. Pikiran kita menciptakan
kesempatan yang kita bahkan tidak
tahu akan pernah ada.
Pilihlah respon dan reaksi terhadap
segala sesuatu yang terjadi pada
Anda. Perjalanan hidup tidak selalu
mulus. Sandungan, kepahitan dan sakit
hati mungkin pernah Anda alami. Tapi
Anda punya pilihan bagaimana merespon
peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam hidup ini.

Motivasi

"Jauhi orang-orang yang mencoba
mengecilkan ambisi Anda. Orang kecil
selalu melakukannya, tetapi orang
yang benar-benar besar membuat Anda
percaya bahwa Anda juga dapat menjadi
besar" - Mark Twain

Senin, 28 Januari 2013

GINCU, GARAM DAN SUSU


              Ketiga benda tersebut di atas sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, khususnya bagi kaum perempuan. Gincu, sekarang orang menyebutnya lipstik, adalah salah satu jenis kosmetika yang dipergunakan oleh sebahagian kaum perempuan sebagai penghias bibir. Warnanya umumnya merah, atau warna lain yang lebih mencolok dan gampang terlihat. Menurut penuturan perempuan yang sering memakai gincu, rasanya tidak ada. Gincu hanya menempel di bibir pemakainya, tidak mempunyai rasa. Walaupun nampak jelas ketika dipakai akan tetapi sipemakainya sendiri justru tidak dapat melihat bagaimana gincu itu di bibirnya ketika dipandang orang.
              Garam, merupakan pemberi rasa asin terhadap makanan, hasil olahan dari air laut. Harganya murah, akan tetapi sangat menentukan lezat-tidaknya suatu hidangan. Garam ketika digunakan larut bersama makanan. Rasa asinnya baru terasa apabila makanan yang dibumbuhi garam tersebut dicicipi.
              Perempuan ketika berdandan boleh tidak memakai gincu, akan tetapi setiap orang kalau memasak  harus  membumbuhi masakannya dengan garam. Ringkasnya gincu sebenarnya hanya pelengkap, sedangkan garam penentu rasa.
              Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang di antara kita ada yang berbuat dan melakukan aktifitasnya mengambil filsofi dari gincu dan garam! Yang berfilosofi gincu, mengutamakan dan mengedepankan aspek formalitas dan popularitas dalam setiap aktifitasnya. Semua yang dia lakukan baik secara pribadi maupun kolektif harus dapat dilihat dan disaksikan oleh orang banyak sekedar untuk memperoleh pengakuan dan atau pujian, kendatipun kemudian hanya sebatas show, tidak dapat memberi manfaat baik bagi dirinya maupun bagi orang yang melihatnya. Yang penting apa yang dia lakukan dapat dilihat dan disaksikan orang! Celakanya, banyak orang yang justru terbuai oleh warna-warna ‘gincu’ yang ditonjolkan oleh orang.
              Sebaliknya, hanya sedikit di antara kita yang rela memegang filosofi garam. Orang yang memegang filosofi garam, dalam berbuat dan beraktifitas mementingkan manfaat apa yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Berbuat bagi orang tipe ini tidak harus diketahui oleh orang lain,  bahkan kalau perlu merahasiakan identitas dalam berbuat baik, tetapi yang penting baginya ialah azaz manfaat pada setiap perbuatannya.
  Dalam bahasa agama Islam, orang yang berfilosofi gincu biasa disebut riya’, yaitu sikap mental pamer dan ingin dipuji. Orang seperti ini sangat berbahaya, berbuat hanya menginginkan popularitas dan mengabaikan manfaat dari apa yang diperbuatnya. Allah swt. Dalam salah satu hadisnya, Nabi Muhammad saw. menegaskan bahwa sikap mental riya merupakan salah satu bentuk syirik:
 ‘’Sesungguhnya yang amat kutakuti dari segala hal atas kalian ialah syirik kecil. Para sahabat bertanya. “Apakah syirik kecil itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: “Riya. Allah azza wa jalla akan berkata kepada orang-orang yang riya kelak di hari kiamat: Pergilah kamu sekalian kepada apa yang kamu jadikan bahan riya di dunia. Lihatlah apa yang kamu semua memperoleh balasan dari mereka yang kepadanya kamu memamerkan amalanmu?. Hadis riwayat Ahmad dan al-Baihaki.
              Orang yang berfilosofi garam, dalam istilah agama Islam disebut ikhlas, yaitu seseorang yang senantiasa berbuat berangkat dari motif yang lurus tanpa mengharapkan imbalan dari hasil perbuatannya. Biasanya orang tipe ini ketika berbuat kebajikan selalu berupaya menyembunyikan perbuatannya, paling tidak mereka tidak menonjolkan perbuatannya itu, namun perbuatan tersebut memberi manfaat baik terhadap dirinya maupun terhadap masyarakat.
              Agama kita menginginkan agar umatnya berperilaku sebagaimana filosofi garam, yaitu tidak menampakkan diri dalam setiap aktifitasnya, tetapi yang lebih penting manfaatnya. Bahkan penilaian Allah terhadap perbuatan kita bukan pada apa yang tampak, melainkan motif yang ada dibalik perbuatan kita itu. Nabi Muhammad saw. dalam hadisnya menyebutkan:
Sesungguhnya Allah swt. tidak menilai terhadap fisik dan penampilanmu, melainkan kepada hati (niat) dan perbuatanmu. Hadis riwayat Imam Muslim.
Dari hadis ini nampak jelas bahwa Allah tidak menilai aspek formalitas pada perbuatan kita, melainkan motif dasar munculnya perbuatan tersebut serta manfaat perbuatan tersebut.
              Dalam kehidupan sehari-hari kita sudah muak dengan penampilan orang-orang dan sekelompok orang yang sepintas bagai pahlawan, namun kepahlawanannya tidak lebih dari penampilan gincu; terlalu banyak teori, konsep dan program yang dikemukakan sekedar untuk menarik simpati publik namun tidak ada realisasi. Orang berperilaku seperti ini tidak menyadari bahwa formalisasi dan publikasi yang berlebihan tentang ‘kebajikan’ seseorang justru mengaburkan dan menghilangkan rasa (manfaat) dari suatu perbuatan. Hanya sesaat dan tidak memberi rasa apa-apa, dan hanya sedikit orang yang mau berbuat kebajikan tanpa diketahui oleh orang lain.

Filosofi Susu

              Susu, untuk kelompok elit (Ekonominya terliLIT, atau Ekonominya suLIT) masih dipandang sebagai barang elit (mewah). Warnanya putih. Biasanya dicampurkan bersama minuman atau makanan ekstra. Di minuman atau makanan mana saja yang diberi susu, akan tampak warna dan rasa susu itu, sekalipun sedikit.
              Susu mungkin salah satu benda yang mewakili sikap pertengahan antara filosofi gincu dan filosofi garam;  semua orang menyebut susu itu enak! Makanan dan minuman kalau diberi susu rasanya makin nikmat! Kalau bercampur dengan makanan atau jenis minuman ia tidak kehilangan identitasnya, melainkan turut mempengaruhi warna makanan/minuman di mana ia ditambahkan. Itulah susu, selain keberadaannya bisa nampak, juga dapat menambah rasa!
              Alangkah indahnya hidup ini, apabila umat Islam bisa bermental susu; bisa memperlezat kehidupan, mempengaruhi masyarakat dengan warna dan rasanya, minimal mudah menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tanpa harus kehilangan identitas, dan yang paling penting keberadaannya benar-benar dirasakan!
              Al-Qur’an tidak menafikan bahwa mental susu itu memiliki pengaruh positif, yaitu agar dapat diikuti oleh orang lain sekaligus mengajak orang lain gemar melakukan sebagaimana yang telah dilakukannya, walaupun dengan memperlihatkan amalan itu dapat mendekatkan kepada bahaya riya. Oleh sebab itu, Allah swt. memberi pujian terhadap mental garam dan mental susu, dengan mendahulukan mental susu dalam firman-Nya:
Jikalau kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itulah yang terbaik. Tetapi jika kamu semua menyembunyikannya dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka itu lebih baik bagimu. QS. al-Baqarah (2): 271.
              Agama Islam adalah agama kemanusiaan. Oleh karena itu, semua ketentuan agama yang berbentuk perintah dan larangan semuanya bermuara pada kepentingan manusia. Dengan demikian semua perbuatan kebajikan pun harus dapat memberi manfaat kepada manusia dan bagi kepentingan kemanusiaan. Kita bisa berbuat atas dasar agama tanpa harus memamerkan apalagi mempublikasikan perbuatan baik tersebut. Perbuatan kita pun bisa dirasakan oleh orang lain tanpa harus mengetahui siapa yang telah melakukannya.
              Memang ada hal-hal tertentu yang memungkinkan seseorang untuk memperlihatkan (mempublikasikan) perbuatannya, yaitu untuk menjadi contoh dan teladan bagi orang yang menyaksikannya. Bila suatu ketika kita berbuat memperlihatkan perbuatan kita kepada orang lain dengan niat agar menjadi contoh, maka kita telah membuat satu sunnah (tradisi kebaikan). Yang demikian lebih baik ketimbang merahasiakannya. Sehubungan dengan perbuatan kebajikan yang diperlihatkan kepada orang lain dengan maksud agar dijadikan contoh, Nabi Muhammad saw. mengatakan:
Barang siapa yang melakukan suatu sunnah (tradisi perbuatan kebaikan atau keburukan), maka ia akan memperoleh ganjaran (kebaikan atau keburukannya) dan (ganjaran kebaikan atau keburukan) bagi setiap orang yang mengikuti tradisi yang telah diperlihatkannya. Hadis riwayat Muslim.
Wallahu A’lam bi al-Sawâb.

Antara Ayam dan Telur


Ketika ada pertanyaan mana yang lebih dahulu ada antara Telur dan Ayam pastilah kita sulit menjawabya. Namun, di Cerita Dongeng Abu Nawas masalah itu dapat terselesaikan dengan bijak dengan pengandaian logika, mau tahu seperti apa Certia Dongeng Abu Nawas tersebut berikut Cerita Dongeng Abu Nawas nya.
Melihat ayam betinanya bertelur, Baginda Harun al Rasyid tersenyum. Beliau memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan mengadakan sayembara untuk umum. Sayembara itu berupa pertanyaan yang mudah tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal. Barangsiapa yang bisa menjawab pertanyaan itu akan mendapat imbalan yang amat menggiurkan. Satu pundi penuh uang emas. Tetapi bila tidak bisa menjawab maka hukuman yang menjadi akibatnya.
Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu terutama orang-orang miskin. Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur. Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tak mengherankan bila pesertanya hanya empat orang. Dan salah satu dari para peserta yang amat sedikit itu adalah Abu Nawas.
Aturan main sayembara itu ada dua. Pertama, jawaban harus masuk akal. Kedua, peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.
Pada hari yang telah ditetapkan para peserta sudah siap di depan panggung. Baginda duduk di atas panggung. Beliau memanggil peserta pertama. Peserta pertama maju dengan tubuh gemetar. Baginda bertanya,
“Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?” “Telur.” jawab peserta pertama.
“Apa alasannya?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.” kata peserta pertama menjelaskan.
“Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?” sanggah Baginda.
Peserta pertama pucat pasi. Wajahnya mendadak berubah putih seperti kertas. la tidak bisa menjawab. Tanpa ampun ia dimasukkan ke dalam penjara
Kemudian peserta kedua maju. la berkata,
“Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan.”
“Bagaimana bisa bersamaan?” tanya Baginda.
“Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur. Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa dierami.” kata peserta kedua dengan mantap.
“Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?” sanggah Baginda memojokkan. Peserta kedua bjngung. la pun dijebloskan ke dalam penjara.
Lalu giliran peserta ketiga. la berkata;
“Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur.”
“Sebutkan alasanmu.” kata Baginda.
“Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina.” kata peserta ketiga meyakinkan.
“Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang. Sedangkan ayam jantan tidak ada.” kata Baginda memancing.
“Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan. Telur dierami sendiri. Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan. Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri.” peserta ketiga berusaha menjelaskan.
“Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?”
Peserta ketiga pun tidak bisa menjawab sanggahan Baginda. la pun dimasukkan ke penjara.
Kini tiba giliran Abu Nawas. la berkata, “Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam.”
“Coba terangkan secara logis.” kata Baginda ingin tahu “Ayam bisa mengenal telur, sebaliknya telur tidak mengenal ayam.” kata Abu Nawas singkat.
Agak lama Baginda Raja merenung. Kali ini Baginda tidak nyanggah alasan Abu Nawas.
Dasar Abu Nawas, memang manusia pintar dengan sejuta pemikiran. Demikanlah Cerita Dongeng Abu Nawas. Semoga bisa menjadi inspirasi dan hiburan bagi teman-teman penggeram Cerita Dongeng Abu Nawas.

Susu dan Garam

Udin dan Ali merasa haus, mereka pergi ke sebuah warung untuk minum. Karena uang mereka hanya cukup untuk membeli segelas susu maka Mereka memutuskan membagi segelas susu untuk berdua.
Ali : “kamu minum dulu setengah gelas,Karena aku hanya punya gula yang hanya cukup untuk satu orang. Aku akan menuangkan gula ini ke dalam susu bagianku.”
Udin : “Tuangkan saja sekarang dan aku akan minum setengahnya.”
Ali : “Aku tidak mau. Sudah kukatakan, gula ini hanya cukup membuat manis setengah gelas susu”
akhirnya Udin pergi ke pemilik warung dan kembali dengan sekantung garam.
Udin : “Ada berita baik. Seperti telah kita setujui, aku akan minum susu ini lebih dulu. Aku akan minum bagianku dengan garam ini.”
Ali : “apa….?”